me and my Beloved

This Is About My beloved Friend, Oky Mega. A stranger, total stranger who always understand me more than anyone……..

Then About my beloved brother with his best friend too

Rabu 16 Mei 2012 –

3 harap dalam 1 jumpa

 

Awalnya …..Langkahku tiada beriring terkaan

Hadirku tiada beriring maksud tujuan

Semua hanya begitu saja,

sekalinya datang, sekalinya pergi, sekalinya dijalani, sekalinya dilewati

yang penting sudah, sudah

 

Hm….. tapi ada suatu terjadi

singkat namun maknanya tetap ada

sederhana, namun berbekas dan terasa

semua karena hangat sapa dan tulusnya tindakan

jadi tak akan terlupa….

 

kebaikan dan keindahan saat kembali jumpa

sedikit kata namun tindakannya mengena

perhatian dan senyuman….. mampu kuatkan hati temaram

temukan kembali cara  untuk

1. untuk mulai tarik napas lembut

2. cerahkan pandangan mata

3. rubah posisi bibir, warnai hari dengan senyuman

dari sebuah jumpa bisa jadi

1. alasan menemukan kembali arti ketulusan

2. cara menemukan kembali cara maknai tindakan

3. penawar lelah tuk nikmati hari….. dari kesederhanaan, sebuah pertemuan dengan ketulusan

 

 

 

 

 

 

 

Jam 09.00 atau lewat beberapa menitan, aku dan teman-teman satu grup sudah stand by di Posyandu, rencananya mau penyuluhan tentang makanan pendamping ASI. hm aku kira hal yang paling menarik untuk hari ini, aku ketemu lagi dengan ibu…..ehm mbak-mbak yang familiar. Dulu waktu jaman diminta turun lapangan untuk mengukur -ukur bayi di bawah dua tahun (masa-masa kelam itu) aku sendirian mengetok pintu-pintu rumah orang, kontrakan, di daerah yang asing. itupun belum tentu ibu-ibunya mau buka pintu dan diwawancarai, tapi entah siapa yang mengarahkan, tibalah aku di rumah kontrakan mbak-mbak itu. sebut saja namanya…….ehm Mbak AA, dengan anaknya sebut saja Dik BB. Mbak itu masih muda, paling beda 1 tahun dari aku, waktu aku datang mbak AA sedang menggendong BB, sendirian di rumah, sambil tersenyum menyuruhku masuk ke dalam. Mau diukur-ukur dan sabar diwawancarai, bahkan memberi suguhan, dan menunjukkan rumah lain yang juga memiliki bayi dibawah dua tahun…. ckckck yang membuat aku terkesan dan terngiang-ngiang adalah dia lahir 1992, tapi bisa merawat anak dengan baik, sendirian di rumah dan tetap bahagiaa, juga ramah sekali.

 

Yang membuat aku senang adalah,,,,, saat bertemu tadi, mbak AA juga mengenali aku… mbak AA memperhatikan penyuluhan dengan baik, bahkan di antara ibu-ibu lain, mbak AA yang lebih memperhatikan. Lalu saat si BB aku gendong, dia ga nangis, padahal aku jarang gendong-gendong anak orang di Posyandu. Hm Mba AA dan BB bisa jadi salah satu alasan, salah satu penawar, salah satu obat hati buatku biar bisa menikmati magang lapangan ini……. eka…. semangat!!!!!!

 

 

 

tlogoguwo always……

This slideshow requires JavaScript.

Forever in my mind…………

Somoroto, 28 Juni 2009

Malam terakhir aku ada di kamarku tercinta, yang sudah enam belas tahun mengiringi perjuanganku. Disini aku berfikir, aku hanyut dalam suka dan duka, bersama keluarga tercinta. Mungkin ini bukan malam terakhir, karena 3 bulan lagi aku akan kembali dengan segala cerita yang akan aku bagikan. Namun 3 bulan bukanlah waktu yang singkat untukku yang sangat menyayangi semua yang ada di sini. Inilah, disinilah, bersama inilah aku menjadi aku dengan segala kepribadianku, dengan segala pola pikirku, dengan segala yang aku raih. Bagi orang lain mungkin tak berarti, tapi ini adalah yang terbaik yang pernah aku miliki, keputusanku meninggalkan semua ini untuk sementara, dan aku akan kembali dengan keindahan.

Keluargaku,maknuk, pak tuo, mak dhe, dian, mbak susi, bulek tin, nik, mak ning, disty, semuanya……..

Apalagi teman-temanku, the best friends…. Yang selalu mendukungku, menjadikan berbagai saat bahagia yang selalu kualami, mereka mengobati hatiku di setiap waktu, tak ada saat bersama mereka yang tak berkesan di hati, aku ingin seperti ini sepanjang usia,

Seperti apa dunia yang akan aku tempuh nanti? Aku bisakah tetap tersenyum dan membawa senyum? Aku ingin saat saat disini selalu menyertaku, aku Cuma ingin yang terbaik, semoga mereka semua tak melupakanku, dan tetap sama memperlakukanku, aku hanya bisa berdo’a semoga segala hal yang terbaik dan terindah selalu bersama keluarga, teman-teman, dan kampungku tercinta. Aku mungkin tak bisa memberikan apapun, menopang hatiku untuk tegar saja sangat berat,

Aku akan kembali dengan senyum yang bersinar, selalu bersinar, aku tahu semua adalah malaikat yang selalu bersamaku dimana pun aku berada, dan sekarang adalah awal dari kehidupanku disini. Tempat ini dan semua yang ada disini akan aku bawa di dalam hatiku, sejuknya gunung, hangatnya keramahan dan persaudaraan, elok dan segarnya sungai, kesederhanaan yang penuh kehidupan….. akan sangat aku rindukan. Tapi aku akan kembali untuk semuanya…..

fentitans forever

daunLagu kebangsaan

Terbang….Sinar….Terang

By:Fentitans

Satu titik cemerlang, dengan ribuan pendar

Empat jankauan jiwa, dengan jutaan asa

Dari satu, untuk satu, dan demi satu..

Semua aral, semua rintang, pasti musnah sudah

Reff:

Oh…..terbang….sinar…terang…..

Itu kan kuraih

Menjangkau mimpi-mimpi bersama angin

Oh….indah…..kilaU…..ceria….

Itu kan bersamaku

Maknai hidup…..dalam satu…

Dalam ikatan jiwa…

Untaian asa dalam harap takkan terpatahkan

Kilauan cinta dalam mimpi takkan terhapuskan

Asa…harap dan cinta

Cinta…..mimpi dan cahya

Terbanglaaah…..

Back to Reff

First short story

bulan_putih

SATU MAKNA KATA UNTUKNYA

“ Dia membenciku……,” sebenarnya aku tak ingin mengatakannya meski dalam hati, tapi apa yang aku rasakan selama ini sudah terasa berat. Apa yang menyebabkannya seperti itu ? semua terjadi begitu saja, aku tak berani menanyakannya, takut akan menambah beban hidupnya, lagi pula aku mencoba sabar karena itu memang kewajibanku. Tapi kenapa harus aku ? kenapa bukan orang lain yang ia benci ?

“ Dik, Adik lihat Dik Nia ?“ Ia memanggilku, berbeda sekali dengan caranya menyebut Nia, adik bungsuku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar tahun ke tiga.

“ Tadi Dik Nia pamit ke warung Bu Siti, memangnya ada apa Bang Fahran mencari Dik Nia ?”

“Oh…Abang hanya menyuruh Dik Nia ke rumah Anang.”

“Cerpen Abang sudah selesai…..biar Naf saja yang mengantarkannya.”

“Tidak usah, Adik kan sedang sibuk. Biar Abang menunggu Dik Nia saja, mungkin sebentar lagi pulang.”

“Sudahlah Bang, biar Naf saja, biasanya kan Dik Nia main dulu dengan Fifi, pulangnya sore-sorean”

“………”

Abang menyerahkan kertas-kertas itu padaku, aku menunggu beberapa saat, namun frase itu tak ia ucapkan, aku beranjak pergi, dalam hati aku kecewa sudah kurelakan pekerjaanku tertunda, namun sekedar ucapan terima kasih pun tak ada. Tak apalah mungkin nanti, besok atau kapan-kapan, aku akan menunggunya…. Sebenarnya aku heran pada Bang Fahran, mengapa ia lebih memilih Anang sebagai pembaca pertama setiap tulisannya, bukan aku,..adiknya sendiri. Biar, seiring waktu pasti aku akan tahu apa penyebabnya.

***

Malam yang dingin, jalanan yang sepi, tanah-tanah yang lembab, dan bulan yang bersembunyi. Tepat pukul 19.30 aku membuka gerendel gerbang depan rumah. Dengan baju setengah basah, aku menahan udara yang menusuk tulang,

“Assalam mu Alaikum……”

“Wa’alaikum Salam, tunggu sebentar!”kudengar Ibu menyahut. Tak seberapa lama, pintu depan terbuka.

“Nafisa,…Ya Allah, kamu kenapa terlambat pulang ?Ayo cepat masuk, baju mu juga basah, kenapa tidak bawa payung?”

“Pekerjaanku menumpuk Bu, malah niatnya mau lembur, Bang Fahran sama Dik Nia mana Bu?.”

“Abangmu sedang menulis, Nia malah sudah tidur. Cepat kamu keringkan badanmu! biar Ibu siapkan air panas.”

“Ya Bu..”

Setelah mandi dan merasa nyaman, aku kembali ke ruang tamu, ada Ibu dan Abang sedang bercakap-cakap.

“ Naf, ayo kemari, Ibu sudah membuatkanmu teh hangat.”

“Terima kasih ya Bu.”

“Naf, kamu itu kalau bekerja jangan terlalu dipaksakan, jaga kondisi badan kamu juga!”

“Yah…semua itu kan usaha Bu, Naf benar-benar ingin kuliah.”

Abang hanya diam, aku melihat ada yang aneh di wajahnya, ia tampak datar, namun seperti ada yang dipaksakan. Tak ada tanda-tanda Ia akan menunjukkan perasaan iba atau simpati padaku, biarlah….mungkin nanti, besok, atau kapan-kapan.

***

Pekerjaan yang menumpuk, aku lelah. Berjam-jam aku menghadapi computer lawas ini, namun ada saja laporan-laporan yang tak kumengerti. Aku mencoba memfokuskan perhatianku, mencoba konsentrasi, namun tak bisa, aku menyerah, aku merasa suntuk. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan sedikit pendapatan. Aku mencoba meniti karir dari dasar, setapak demi setapak, dan sampai menjadi seperti ini, semua untuk satu harapan, melanjutkan kuliah. Sekarang tinggal menanti waktu saja……

Aku beranjak menuju jendela, yah….sekedar menjernihkan pikiran, aku suntuk. Aku ingin melihat-lihat taman bunga. Bunga-bunga itu sedang bersuka-cita, mendapat perhatian dari seorang lelaki yang lembut dan baik hati, seandainya akulah yang menjadi bunga itu,….dan itu tak mungkin. Meski memiliki kelemahan dalam system geraknya, Abang tak pernah mau tinggal diam, di sela-sela kesibukannya menulis, Ia menyempatkan diri berkebun. Tak heran, bila Abang tak pernah kehilangan ide untuk menulis, berjuta inspirasi di sela-sela pesona ia dapatkan di sana. Dan di antara untaian pesona itu, ada satu bunga yang sangat Ia jaga, sangat Ia pelihara, bahkan sampai layu pun tak ada yang boleh menyentuhnya, katanya ingin dipersembahkan kepada orang terkasih. Insan yang menerima cinta terindah dari hatinya, insan yang mencerminkan bunga…..White Moon Orchid.

Dari jendela kulihat Abang berusaha menjangkau setangkai mawar putih mungkin ingin Ia persembah kan untuk Ibu, begitulah kebiasaan Abangku setiap pagi. Kami bertemu pandang, aku mencoba melayangkan seberkas senyum untuknya, tapi Ia diam, datar. Lagi-lagi aku kecewa.

Lalu kulihat Nia menghampirinya, memberikan gunting, spontan, tanpa ditunggu, frase yang sangat kudamba meluncur, “Terima kasih.”senyum pun ia persembahkan semanis mungkin, tapi bukan untukku. Aku hanya bisa menghela nafas.

***

Sudah kucoba menuangkan segenap perasaanku, berusaha keras mencurahkan ide-ideku, selalu saja gagal. Aku ingin seperti Abang, menjadi penulis yang handal, hasil karyanya dimuat di manap-mana, setiap kali aku mencoba menulis, hasilnya aku serahkan pada Abang untuk direvisi, tapi setiap kali pula de ujung bawah ada tambahan…”Kurang satu kata”…aku koreksi lagi, di benakku karya itu sudah sempurna, aku menanyakannya pada Abang, namun Ia selalu diam.

Ini sekian kalinya aku menyetorkan tulisanku pada Abang, Ia membacanya sekilas, dan tanpa belas kasihan atau sedikit penghargaan, Ia ambil pena merah, dengan mantap Ia tuliskan kalimat itu lagi. Lalu kertas ia serahkan padaku, tanpa kata, tanpa ekspresi, dan beranjak pergi.

Aku ingin marah….aku ingin mrnangis…tapi sudahlah.

***

Aku melirik kembali saldo tabunganku, berkali-kali aku bersyukur, Tuhan selalu menjawab dan mengabulkan do’a hambanya yang berusaha. Aku melirik foto almarhum ayah, gagah, tegap, dan sabar. Ia berpesan agar aku menjaga ibu, abang, dan Nia. Tiba-tiba aku teringat pada ibu, beberapa hari ini wajahnya tampak murung, entah mengapa…saat aku sedang berfikir, Beliau memanggilku.

“ Naf……, Nafisa…..”

“Iya Bu……”

“Kemarilah Nak !”

“ Ada apa Bu? Sepertinya ada hal yang mendesak ?”

“Duduklah Nak, Ibu ingin berbicara hal yang serius Nak.”

“Tentang apa Bu?”

“ Tentang Abangmu.”

“Memangnya ada apa dengan Abang Bu? Apa terjadi sesuatu padanya?”

“Sebenarnya……..ah…Ibu minta maaf bila selalu menghalangi semua cita-citamu, Ibu ……..hanya ingin semua anak Ibu bahagia. Tapi ….”

“Ada apa Bu? Sudah menjadi hal yang semestinya seorang anak berbakti pada orang tua, apalagi untuk Ibunya, katakanlah Bu………”

“Ini bukan persoalan mudah Nak, ini…berkaitan denga cita-cita dan harapanmu………”

“Maksud Ibu?”

“Abangmu…… ingin sekali dapat berjalan. Kami mendengar dari Pak Haji Ifham, putranya yang lumpuh sejak lahir bisa disembuhkan dengan pengobatan di luar negeri.”

“…………”

“Pak Haji bersedia mengantar Abangmu, namun biaya pengobatannya tidak sedikit. Sawah peninggalan Ayahmu saja masih belum memenuhi biaya pengobatan itu……sehingga…..”

“Ibu memintaku untuk merelakan uang yang susah payah ku kumpulkan untuk kuliah?” aku memotong kata-kata Ibu, kuucapkan kata-kata yang membuat mata dan hatiku basah. Aku harus merelakan harapanku untuk seseorang yang aku tahu, Ia sangat membenciku, acuh terhadapku, dan tak pernah mau menyebut namaku…..Oh Tuhan….

“Nak, sejak lahir Abangmu sudah menderita, Ia hanya bisa iri dengan teman-temannya, hanya bisa menangis….kini ketika ada sebatang lilin dalam hidupnya, maukah kau memercikkan api agar menjadi terang?”

“Tap….Tapi Bu…..”ini keputusan yang sangat berat, aku sedang berusaha menahan gemuruh hati yang menandakan adanya peperangan. Harapan atau kewajiban……

“Ibu mengerti ini sangatlah berat, namun Ibu mohon………..”Ibu menangis, aku telantarkan amanat ayah, aku anak durhaka, dan sebelum lebih jauh lagi…………..

“Baiklah Bu, Naf ikhlaskan” aku masuk ke kamar, menahan aliran air yang tak terbendung di pelupuk. Kewajibanlah yang menang.

Malamnya aku tak keluar kamar, sayup-sayup ku dengar Ibu dan Abang sedang bercakap-cakap, mungkin membicarakan keberangkatannya. Semoga saja setelah Ia tahu, sikapnya akan berubah terhadapku, tak membenciku lagi. Semoga…

***

Esok aku membuka mata dengan berat, aku menuju jendela, menyibakkan tirai, kemudian menghirup udara pagi yang segar. Kembali kulihat Abang yang sedang menyiram bunga dibantu Nia. Aku berusaha melayangkan senyum, hendak mengetahui perubahan sikapnya, Ia menatapku sebentar, lalu menyibukkan diri dengan Nia. Aku menyesal…..sesal dengan penuh sesal, untuk apa aku mengorbankan harapanku yang sudah lama kupendam, hanya untuk orang yang semakin membenciku….

Saat Ia masuk, aku bergegas menemuinya. Aku kendalikan hatiku untuk tidak meluapkan apa yang kurasakan selama ini.

“Bang,…..”

“………”

“Bang Fahran, Naf ingin bicara sebentar.”

“Bicaralah.”

“Kapan Abang akan berangkat ke luar negeri?”

“Bulan depan, memangnya kenapa ?”sahutnya dingin.

Hh…apa tidak terbesit sedikitpun di hatinya, untuk ……Hh…….Ya Allah bagaimana aku harus menghadapinya, mengapa seperti ini, mungkin ini saatnya aku meluruskan duduk perkaranya.…melihatku terdiam, Ia beranjak pergi.

“Bang, tunggu !!…Abang benci ya sama Naf ?”

“Maksudmu?”Bang Fahran mulai bimbang.

“Iya..Abang benci kan sama Naf ?Abang tidak suka kalau Naf ingin melakukan sesuatu untuk Abang. Yang Abang sayang cuma Ibu, Dik Nia, dan bunga-bunga itu saja, tapi dengan Naf, Abang berusaha menganggap angin lalu.”

“Dik………..”

“Bang, jangan menghukum Naf seperti itu,..Abang seharusnya bilang, kalau Naf memang punya salah atau sikap Naf yang kurang berkenan,…Abang jangan langsung bersikap dingin begitu……”

“Adik……”

“Begitu besarkah rasa benci Abang sampai menyebut nama adik sendiri saja tak mau, begitu membelenggukah sampai kata terima kasih dan sedikit perhatian pun tak bisa Abang curahkan ?”

“Dik….”

“Abang bisa mengerti perasaan Naf..?”

“Adik, mungkin memang Abang yang salah, tapi ini semua demi Adik, Abang pikir Adik sudah cukup mengerti dengan sikap Abang, sehingga tidak akan jadi begini……..”

“Apa maksud Abang?”Aku bertambah gundah, namun aku lega, kata-katanya mulai lunak…

“Selama ini Adik memang begitu baik, Adik selalu membantu Abang, Adik selalu berbakti pada Abang, Adik tak pernah menyakiti hati Abang, Adik tak pernah menyusahkan orang lain……..”

“Lalu kenapa Abang membenci Naf ?”

“Adik…..Adik bisa dibilang peri yang sempurna, kebersihan dan kebaikan hati Adik mencerminkan keindahan, tapi satu yang belum Abang temukan dalam keindahan itu,………Tulus.”Abang meninggalkan aku dalam galau yang memuncak, sedih, temaram, luluh, dan hilang…..

Aku merenungi segala yang ia ucapkan…..Aku galang iman dan kekuatan hatiku….sampai….kata Tulus. Kini aku mengerti, apa yang Dik Nia berikan, apa yang mereka curahkan dan yang tak kumiliki, selama ini aku hanya menanti harapan untuk kembalinya apa yang kuberikan, selama ini aku hanya berfikir tentang kewajiban, segala yang aku persembahkan untuk Abang dan orang-orang yang aku sayang, seberapapun itu, pasti akan terasa hambar. Tanpa adanya satu kata yang menjadi makna..

Sikap Abang yang dingin dan datar yang dipaksakan merupakan ungkapan ketulusan yang tertutup, Ia tulus menyayangiku, dan ingin aku sadar akan segenap pola pikirku. Kini akan kucurah isi hatiku dalam untaian kata, yang akan kupersembahkan kepada Abang, aku persembahkan makna kata yang ia nanati selama ini, aku persembahkan kata yang hilang dari setiap karyaku, satu makna kata ….Tulus……….untuk Abang..

***

Di atas meja berdebu, di samping monitor lawas, di hadapan foto Ayah……selembar kertas dengan tulisan apa adanya, ungkapan jujur dari lubuk hati seorang gadis, rapi dan bersih, tinta merah yang selalu menghiasi tak tampak, digantikan….sekuntum White Moon Orchids.

œ